Pendahuluan
Tuhan menciptakan alam semesta beserta isinya ini merupakan bagian dari sifat Mahakuasa dan kehendak yang bersifat mutlak dalam mengurus semua makhluk ciptaanNya, termasuk manusia di dalamnya. Dari sinilah timbul beberapa pertanyaan sampai manakah manusia sebagai makhluk Tuhan bergantung pada kekuasaan dan kehendakNya dalam menentukan jalan hidupnya? Apakah manusia itu diberi kebebasan dalam mengatur hidupnya? Ataukah manusia terikat secara mutlak pada kehendak dan kekuasaan Tuhan?
Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam itu, terdapat dua aliran dalam teologi Islam, yaitu kaum Qadariah dan Jabariah. Keduanya saling bertolak belakang dengan mempertahankan argumennya masing-masing. Dalam makalah ini akan sedikit dibahas tentang aliran Qadariah baik latar belakang kemunculannya, pahamnya, dan tokoh-tokohnya.
Aliran ini tak dapat diketahui dengan pasti kapan paham ini muncul dalam sejarah perkembangan teologi Islam, paham Qadariyah kelihatannya ditimbulkan pertama kali oleh Ma’bad Al-Juhari dan Ghailan Al-Dimasqi . Ajaran-ajaran ini banyak persamaannya dengan Mu’tazilah. Menurut Ibnu Nabatah, mereka mengambil paham ini dari seorang kristen yang masuk Islam di Irak. Tetapi ia memasuki lapangan politik dan memihak Abdul Rahman Ibn al-Asy’as, Gubernur Sajistan, dalam menentang kekuasaan Bani Umayyah dalam pertempuran dengan al-Hajjaj, Ma’bad tewas terbunuh pada tahun 80 H.
Pokok aliran Qadariyah antara lain adalah manusia mempunyai kemampuan untuk bertindak (Qudrah) dan memilih atau berkehendak sendiri dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian, nama Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan atau istilah lainnya dengan sebutan free will atau free act. Kehadiran Qadariyah merupakan isyarat penentangan terhadap politik pemerintahan Bani Umayyah, aliran ini selalu mendapat tekanan dari pemerintah, namun paham Qadariyah tetap berkembang. Dalam perkembangannya, paham ini tertampung dalam aliran mu’tazilah. Walaupun mendapat tekanan dari khalifah Umar bin Abdul Aziz, Ghailan terus menyebarkan paham Qadariyahnya, yang pada akhirnya ia di jatuhi hukuman mati oleh Hisyam Abdul Malik (724-743 M). Sebelum dijatuhi hukuman mati, diadakan perdebadatan antara Ghailan dan al-Auza’i yang dihadiri oleh Hisyam sendiri.
Menurut Ghailan, manusia berkuasa atas-perbuatan-perbuatannya, manusia sendirilah yang melakukan dan menjauhi perbuatan baik dan buruk sesuai kemauan dan dayanya sendiri. Di sini tidak terdapat paham yang mengatakan bahwa nasib manusia dalam perbuatannya-perbuatannya hanya bertindak menurut nasibnya yang telah ditentukan semenjak zaman azali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar