Senin, 30 Mei 2011

SEKURITAS SYARIAH

Oleh :
Ach. Bakhrul Muchtasib, SE.i

A. Pendahuluan
Adalah benar adanya bahwa perkembangan ekonomi suatu negara tidak lepas dari perkembangan pasar modal. Perkembangan pasar modal di negara-negara maju, termasuk di negara-negara muslim sekalipun, kiranya menuntut untuk dicermati lebih lanjut. Hal ini menjadi keharusan, selain terkait dengan semakin membesarnya peran pasar modal di dalam memobilisasi dana ke sektor riil, juga disebabkan adanya tuntutan bahwa sekuritas yang diperdagangkan harus selaras dengan syariat Islam. Sependapat dengan hipotesis Fauzi (lihat dalam Achsien, hal. xv, 2003), bahwa masyarakat yang semakin terdidik akan semakin tidak suka menanamkan dana mereka di bank komersial, karena bank komersial memberikan return yang relatif kecil, meskipun risikonya juga relatif kecil. Tapi, justru di sinilah masalahnya. Masyarakat yang semakin paham akan pasar keuangan, semakin mengerti akan penilaian dan pengendalian risiko investasi, akan semakin berani memasuki area yang lebih berisiko.
Dalam konteks investasi syariah di pasar modal, pemahaman akan pengendalian risiko dan return saja tidak cukup, hal lain yang tak kalah penting untuk dipahami adalah pengenalan akan sekuritas-sekuritas mana yang selaras dengan syariah Islam. Dari banyak jenis sekuritas yang ada, beberapa di antaranya telah telah memperoleh pengakuan dari Dewan Syariah Nasional (DSN) atas kesyariahannya.
Yang dikehendaki dari pengenalan prinsip-prinsip keuangan Islami tersebut, terutama tentang bentuk-bentuk kontraknya, adalah baik investor maupun para akademisi nantinya dapat kritis menilai setiap sekuritas yang tersedia, serta tetap konsisten menggunakan sekuritas-sekuritas yang selaras dengan prinsip-prinsip syariah. Dengan demikian, mereka tidak akan menjadi naif, menolak seluruh sekuritas yang ada dengan anggapan sama sekali bertentangan dengan syariah Islam. Tidak lantas pula menerima begitu saja modifikasi-modifikasi yang dilakukan tanpa telaah yang dalam secara substansif (Achsien, hal.59, 2003).


B. Pengertian

Istilah sekuritas (securities) seringkali disebut juga dengan efek, yakni sebuah nama kolektif untuk macam-macam surat berharga, misalnya saham, obligasi, surat hipotik, dan jenis surat lain yang membuktikan hak milik atas sesuatu barang. Dengan istilah yang hampir sama, sekuritas dapat juga dipahami sebagai promissory notes/commercial bank notes yang menjadi bukti bahwa satu pihak mempunyai tagihan pada pihak lain. Adapun, yang dimaksud dengan sekuritas syariah atau efek syariah adalah efek sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal yang akad, pengelolaan perusahaan, maupun cara penerbitannya memenuhi prinsip-prinsip syariah.
Di antara bank-bank Islam yang ada, terdapat dua pendapat yang berbeda dalam menyikapi surat berharga. Pertama, mayoritas bank Islam menolak perdagangan surat berharga. Kedua, bank Islam di Malaysia, dalam beberapa kondisi termasuk juga bank Islam di Indonesia, menerima transaksi surat berharga (Karim, hal. 114, 2001).
Alasan penyangkalan mereka yang menolak transaksi surat berharga adalah karena di dalamnya terkandung bai ad-dayn (jual beli utang). Sementara itu, Islam secara tegas telah mengharamkan jual beli utang. Reaksi yang berbeda dikemukakan oleh pendapat kedua, yakni mereka yang mengabsahkan transaksi surat berharga. Umumnya, mereka menyandarkan pada prinsip bahwa surat berharga tersebut haruslah diendors (dijamin) oleh pihak penerbit, kemudian surat berharga tersebut haruslah timbul dari aktivitas yang tidak bertentangan dengan syariah. Jadi, selama kedua hal ini tidak dilanggar, transaksi surat berharga menjadi sah karenanya.
Bahkan, sebagaimana diuraikan oleh Karim (hal. 115, 2001), bank Islam di Malaysia merujuk pada beberapa fatwa yang membolehkan jual beli surat berharga dan kebolehan mengambil keuntungan dalam jual beli berdasarkan prinsip an taraddin minkum (kerelaan kedua belah pihak).
Terlepas bagaimanapun reaksi yang diungkapkan oleh umat, yang pasti, Islam sangat menganjurkan umatnya untuk melakukan aktifitas ekonomi (mu’amalah) dengan cara yang benar dan baik, serta melarang penimbunan barang, atau membiarkan harta (uang) menjadi tidak produktif, sehingga aktivitas ekonomi yang dilakukan dapat meningkatkan ekonomi umat. Tujuan utamanya adalah untuk memperoleh keuntungan (falah), baik materi maupun non materi, dunia dan akhirat. Sementara itu, segala bentuk aktivitas ekonomi yang dilakukan haruslah berdasarkan suka sama suka, berkeadilan, dan tidak saling merugikan (la dharara wa la dhirara).
Karena itu, sehubungan dengan pembahasan sekuritas syariah ini, ada tiga kategori sekuritas. Pertama, segala jenis sekuritas yang menawarkan predetermined fixed-income tidak diperbolehkan dalam Islam, karena termasuk kategori riba. Dengan demikian, interest-bearing securities, baik long term maupun short term, akan masuk daftar instrumen investasi yang tidak sah. Saham preferen (Preference stocks), debenture, treasury securities and consul, dan commercial papers masuk dalam kategori ini.
Kategori kedua, sekuritas-sekuritas yang berada dalam grey area (questionable) karena dicurigai sarat dengan gharar, meliputi produk-produk derivatives, seperti forward, future, dan juga options.
Kategori ketiga, yakni sekuritas yang diperbolehkan, baik secara penuh maupun dengan catatan-catatan meliputi, saham (stocks) dan Islamic bonds, profit loss sharing based, goverment securities, penggunaan institusi pasar sekunder dan mekanismenya semisal margin trading. Karena seringkali catatan-catatannya begitu dominan, berikut ini akan diuraikan dua contoh sekuritas yang telah akrab di tengah-tengah masyarakat, yakni saham dan obligasi syariah.



C. Saham Syariah
Saham dapat didefinisikan sebagai tanda penyertaan atau pemilikan seseorang atau badan dalam suatu perusahaan atau perseroan terbatas. Wujud saham adalah selembar kertas yang menerangkan bahwa pemilik kertas tersebut adalah pemilik perusahaan yang menerbitkan surat berharga.
Untuk investor muslim, Achsien (hal. 60, 2003) berujar, inestasi pada saham (equity investment) memang sudah semestinya menjadi preferensi untuk menggantikan investasi pada interest yielding bonds atau sertifikat deposito, walaupun jika kemudian dinyatakan dalam fikih klasik dikatakan bahwa ekuitas dalam hal ini saham tidak bisa dipersamakan dengan instrumen keuangan Islam seperti kontrak mudharabah atau musyarakah. Saham dapat diperdagangkan kapan saja di pasar sekunder tanpa memerlukan persetujuan dari perusahaan yang mengeluarkan saham. Sementara mudharabah dan musyarakah ditetapkan berdasarkan persetujuan rab al mal (investor) dan perusahaan sebagai mudharib untuk suatu periode tertentu.
Karena batasan periode kontrak yang mengikat tersebut, yang menjadikan mudharabah dan musyarakah seringkali dianggap tidak likuid. Sementara saham, memungkinkan untuk dijual kapan saja, sehingga sudah pasti lebih likuid dan lebih atraktif, meskipun kemudian terjadi modifikasi untuk membuat kontrak keuangan Islam mejadi likuid.
Adapun pendapatnya Wahbah al Zuhaili dalam al Fiqh al Islami wa adillatuhu juz 3/1841 dinyatakan bahwa:
“bermuamalah dengan (melakukan kegiatan transaksi atas) saham hukumnya oleh, karena pemilik saham adalah mitra dalam perseroan sesuai dengan saham yang dimilikinya.”
Pendapat para ulama yang memperbolehkan jual beli saham serta pengalihan kepemilikan porsi suatu surat berharga berdasar pada ketentuan bahwa selama semua itu disepakati dan diizinkan oleh pemilik porsi lain dari suatu surat berharga (bi idzni syarikihi). Keputusan Muktamar ke-7 Majma’ Fiqh Islami tahun 1992 di Jeddah pun menyatakan bahwa boleh menjual atau menjaminkan saham dengan tetap memperhatikan peraturan yang berlaku pada perseroan.
Tidak semua saham yang terdaftar di pasar modal memenuhi prinsip-prinsip syariah. Untuk itulah Bursa Efek Jakarta(BEJ) bekerjasama dengan Danareksa Investment Management, mengembangkan suatu indeks untuk melisting saham-saham mana saja yang layak dianggap memenuhi prinsip-prinsip syariah. Indeks ini disebut juga dengan Jakarta Islamic Indeks (JII). Saham-saham yang masuk dalam Indeks ini adalah saham yang kegiatan emitenya tidak bertentangan dengan syariah, misalnya:
- usaha perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan terlarang
- usaha lembaga keuangan konvensional (ribawi) termasuk perbankan dan asuransi konvensional
- usaha yang memproduksi, mendistribusi serta memperdagangkan makanan dana minuman yang tergolong haram
- usaha yang memproduksi, mendistribusi dan atau menyediakan barang-barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudharat.
D. Obligasi Syariah
Obligasi syariah di dunia internasional dikenal dengan sukuk. Sukuk berasal dari bahasa Arab “sak” (tunggal) dan “sukuk” (jamak) yang memiliki arti mirip dengan sertifikat atau note. Dalam pemahaman praktisnya, sukuk merupakan bukti (claim) kepemilikan. Sebuah sukuk mewakili kepentingan, baik penuh maupun proporsional dalam sebuah atau sekumpulan aset (lihat, Hakim, 2005).
Berbeda dengan konsep obligasi konvensional selama ini, yakni obligasi yang bersifat hutang dengan kewajiban membayar berdasarkan bunga, obligasi syariah adalah suatu surat berharga berjangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan Emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan Emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syraiah berupa bagi hasil/margin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo (lihat Fatwa DSN, 2004).
Kendatipun, jika ditinjau dari aspek akad, obligasi dapat dimodifikasi ke pelbagai jenis, seperti obligasi salam, istisna, murabahah, musyarakah, mudharabah ataupun Ijarah, namun yang lebih populer dalam perkembangan obligasi syariah di Indonesia hingga saat ini adalah obligasi mudharabah dan ijarah.
Obligasi syariah di Indonesia mulai diterbitkan pada paruh akhir tahun 2002, yakni dengan disahkannya Obligasi Indosat obligasi yang diterbitkan ini berdasarkan prinsip mudharabah. Obligasi mudharabah mulai diterbitkan setelah fatwa tentang obligasi syariah (Fatwa DSN-MUI No. 32/DSN-MUI/ /2002) dan obligasi syariah mudharabah (Fatwa DSN-MUI No. 33/DSN-MUI/ /2002). Sedangkan obligasi syariah ijarah pertama kali diterbitkan pada tahun 2004 setelah dikeluarkannya fatwa tentang obligasi syariah ijarah (Fatwa DSN-MUI No. 41/DSN-MUI/ /2003).
Penerapan mudharabah dalam obligasi cukup sederhana. Emiten bertindak selaku mudharib, pegelola dana dan investor bertindak selaku shahibul mal, lias pemilik modal. Keuntungan yang diperoleh investor merupakan bagian proporsional keuntungan dari pengelolaan dana oleh investor. Menyikapi adanya indikasi bahwa terdapat kontradiksi antara mudharabah dan obligasi dalam definisi, serta masih adanya anggapan bahwa obligasi syariah mudharabah sejatinya tetaplah sebagai surat hutang, lebih lanjut, Hakim mengatakan bahwa transaksi mudharabah dalam konteks obligasi syariah mudaharabah ini adalah transaksi investment, bukan hutang piutang. Karena investment meruapakan milik pemilik modal, maka ia dapat menjualnya kepada pihak lain. Prinsip inilah yang mendasari dibolehkan adanya secondary market bagi obligasi mudharabah.

E. Problematika Sekuritas Syariah
Tidak dipungkiri, dengan melihat perkembangan industri pasar modal syariah yang masih baru, masih sangat dimungkinkan jika pengaruh cara pandang ekonomi konvensional masih kental terasa. Namun, hal ini tidak seharusnya menjadikan umat dan pelaku pasar muslim bersikap permisif serta tidak kritis untuk menilai ulang fakta yang ada. Sesungguhnya, inilah yang merupakan tantangan bagi konsep dan sistem ekonomi Islam untuk dapat membuktikan diri secara aplikatif mampu menjadi sistem altenatif ekonomi umat.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Achsien (2003), konsep ekonomi konvensional yang sampai saat ini masih kontroversial digunakan di industri keuangan Islam, antara lain penerapan time value of money atau positive time preference serta margin trading, disamping belum adanya variabel benchmark untuk menentukan tingkat diskonto (discount rate) dari sekuritas ataupun pembiayaan syariah.
Terlepas apapun polemik tentang sekuritas syariah yang terdapat di tengah masyarakat, adalah menjadi tugas bersama untuk memperbaiki, dan bahkan menyusun kembali sekuritas ini sesuai dengan prinsip syariah yang sebenarnya, sehingga dapat memberikan kemaslahatan bagi umat.


Daftar Rujukan

Achsien, Iggie H., 2003, Investasi Syariah di Pasar Modal: Menggagas Konsep dan Praktek Manajemen Portofolio Syariah, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, Cet. Kedua.

Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, 2004, Cet. Kedua

Hakim, Cecep Maskanul, 2005, Obligasi Syariah di Indonesia: Kendala dan Prospek, Makalah, disampaikan pada kuliah informal Ekonomi Islam, Fakultas Universitas Indonesia, 16 April 2005.

Zuhaily, Wahabah, 1989, al Fiqh al Islami wa adillatuhu, Juz 3, Damaskus: Cet. Ketiga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar